CERPEN "MISTERI KEMBANG MELATI"
CERPEN "MISTERI KEMBANG MELATI" - Sudah aku duga, siang ini pasti langit akan menerjunkan hujan. Mengetuk ujung ubun-ubun. Membasahi gulungan rambut yang sudah lusuh dan semrawut, karena sedari tadi, langit tampaknya mendung dan menyajikan gumpalan awan hitam. Suasana kampus yang biasanya ramai kini sangat sunyi dan sepi. Tidak ada satu orang pun mahasiswa atau dosen yang tampak berlalu lalang di sini, pun penjaga kampus dan pemilik kantin di sore ini seakan lenyap dalam suasana senyap.
“ Sial, ini kampus atau kuburan?” Gerutuku kesal.
Langit di atas sana masih menerjunkan air hujan yang begitu deras. Gumpalan awan tidak membentuk lagi pola rumit yang biasanya membentuk berbagai macam kontur benda-benda yang berada di bumi. Siang ini, langit menyuguhkan gulungan awan yang terkadang terlihat menjulang runcing, miring tipis, dan sedikit rapat, warnanya kelabu dan lama kelamaan semakin menghitam.
Pesona warna di kampus menjadi kelam. Semilir angin berbisik dan saling mengusik pepohonan. Sorak-sorak dedaunan berteriak melengkingkan suaranya dengan memecah kesunyian. Bersama petir yang menyambar angin. Hembusan angin begitu mistik. Meneriakkan benda-benda apa saja yang ada di bumi, termasuk daun dan pepohonan. Gemuruh petir dan angin menggelegar. Cahaya kilat berkelabat adalah mata pisau yang tidaklah tampak memukau bahkan membuat gigi ini saling menggigit bibir.
![]() |
Di sepanjang siang, denting bunyi air hujan semakin nyaring. Pukulannya semakin kasar dikulit kepala dan membentur ubun-ubun. Kedua telapak tangan pun sontak mengusap-usap kepala yang sudah tanggung nyeri. Dinginnya hujan sore ini menyentuh ujung jari. Menjalar ke seluruh tubuh sehingga tubuhku menjadi beku dan kaku.
Derai hujan yang begitu deras. Tubuhku dingin menggigil. Aku berteduh di sebuah saung kecil yang tampak menarik dan rupanya tempat para mahasiswa saling bercengkrama, berdiskusi, dan ngopi. Tubuhku yang sedikit basah, bersandar pada tiang yang menyokong sebuah bangunan saung itu. Dengan wajah tak lagi cerah dan cukup lelah, mataku menengok ke sebuah lapangan parkir. Siang itu, tak ada kendaran yang berjajar rapi di sana. “Sial!” hujan memang meleyapkan segalanya. Daun-daun yang gugur, hingga sampah yang melimpah ruah pun hanyut dalam air bah. Pikiranku terkatung-katung dan bingung pada hujan kali ini. Bingung dan agak sedikit pusing. Akhirnya kedua kelopak mataku mengatup redup***
Tampaknya sudah lama aku berteduh sendirian sedari tadi di saung mungil hingga aku tertidur pulas dan tidak sadarkan diri. Kali ini hari menjelang senja. Aku terbangun kaget dan ternyata hujan deras berubah menjadi rintik-rintik gerimis yang manis dan begitu romantis.
Setelah hujan deras berubah menjadi butiran gerimis, disenja ini aku menemukan deretan mega yang menguning. Hamparan langit tak lagi bening. Gumpalan awan membentuk garis-garis tipis memesona. Aku bangkit dari sebuah saung yang membuatku tertidur pulas di sepanjang siang. Aku beranjak pergi dengan melangkahkan kedua kaki melewati bangunan fakultas yang menjulang tinggi. Saat itu, aku berjalan seperti tanpa tujuan. Kuhentak-hentakan kaki ke atas permukaan tanah yang masih basah. Sesekali kutendang batu-batuan kecil yang membuat perjalananku risih, sedangkan kedua tanganku merogoh ke dalam saku celana. Aku keluarkan sebatang rokok, kusulut lembut, dan kuhisap dalam-dalam. Rasanya amat nikmat dan agak hangat. Asapnya menggelembung membentuk bulatan-bulatan kecil seperti awan.
Beberapa saat, kakiku berhenti di sebuah pinggir jembatan kampus. Lalu aku duduk sambil menikmati asap rokok. Di atas sana, hamparan langit senja yang menampakkan warna kuning kecoklatan begitu asik bagiku, ditambah gerimis yang saling berjatuhan, aku duduk dipinggir jembatan dekat dengan halte tempat dimana orang-orang saling menunggu. Saat itu, aku lemas, keringat dingin mengalir diseluruh tubuh.
Ada yang ganjil di senja yang menyuguhkan gerimis ini. Tiba-tiba sepasang mataku berjuling, memalingkan pandangan tepat persis ke tepi halte. Tatapanku terfokus pada sesosok perempuan dewasa yang sedang duduk sendirian. Tampaknya ia sangat gelisah dan sedang menunggu seseorang. Perempuan itu, rambutnya hitam panjang terurai. Ia memakai rok seatas lutut dengan blazer ungu memesona. Matanya berbinar. Tubuhnya wangi seperti di semusim bunga. Senja itu, aku memberanikan diri berjalan pelan menghampirinya. Dadaku mulai berdebar kencang. Tubuhku kaku, sedangkan hidungku dibuat sesak oleh aroma yang khas dari wangi tubuhnya.
“Apa ada yang aneh dari tubuhku?” Serunya. Aku kaget bukan main. Seakan-akan dia telah mengetahui gelagatku.
“Nggak!” aku menggeleng kepala. Lalu duduk di sampingnya tanpa ragu.
“Sendiri saja?” Tanyanya dingin.
“Mbak juga, mengapa sendirian? Lagi menunggu seseorangkah?”
“Hei, Aku Laras. Ya kau benar. Aku sedang menunggu seseorang, seseorang yang dulu kukagumi, seseorang yang telah hilang tujuh hari yang lalu dipelukanku.” Serunya dengan wajah datar.
Perempuan itu parasnya begitu cantik. Para lelaki akan sangat tertarik jika melihatnya. Baru kali ini aku melihat perempuan secantik dan semenarik dia. Namun sayang, dibalik parasnya yang cantik itu, aku merasa ada sebuah luka nista yang menyayat batinnya. Kedua bola matanya berkaca-kaca, ia menatap kosong. Batinnya seperti sedang menangis miris.
“Mbak Laras sangat mencintainya?”
“Tentu saja, dulu aku sangat mencintainya. Dan aku gila dibuatnya, sampai aku dan dia melakukan cinta terlarang dan menanggung cacat moral seumur hidup! Tapi sekarang aku menyesal mencintai dia, aku benci!” Jelasnya kaku. Kelopak matanya pelan-pelan menurunkan jentik hujan.
Wajah perempuan itu memerah. Rintih tangisnya sangat memilukan. Hatinya runtuh, ia pun terjatuh ke pelukanku. Keadaan suasana di senja itu, kini berubah menjadi malam yang begitu gelap gulita. Dinginnya malam membuat suara lolong anjing memekik keras di kejauhan. Meraung-raung mengisi batinku yang sepi.
“Bukankah mbak dan kekasih melakukan hal tersebut dengan perasaan suka sama suka satu sama lain? Mengapa mbak membenci dia?”
“Perempuan seperti apa yang tidak bisa menangis, tidak bisa merasakan sakit, dan tidak ada rasa benci kepada laki-laki yang tidak bertanggungjawab atas perbuatannya?”
Perempuan itu menangis pilu dan terbenam dipelukanku. Tubuhku rasanya sulit untuk bergerak sedikit pun. Rupanya, malam itu, pelukanku adalah sumber kehangatan tubuhnya.
Pesona malam menjadi kelam. Kaki langit sangat menghitam tanpa cahaya bulan dan bintang. Jalanan tampak lengang. Tak ada kendaran yang berlalu lalang, pun dengan orang-orang. Aku lanjutkan perbincanganku dengan Laras dan mencoba menenangkan hatinya.
Malam semakin larut. Semilir angin dingin tetap menerbangkan aroma wewangian dari tubuh perempuan itu. Aku dan Laras masih menikmati nuansa malam yang sunyi. Aroma wangi dari tubuh Laras membuat tubuhku bergetar. Sunyi dan senyap. Malam semakin kelam. Aku pun semakin rapat memeluk tubuh Laras. Terasa hangat malam itu, rambut Laras terurai panjang dan membelit ditubuhku
.
Malam yang kian larut, Aku dan Laras saling menatap. Aku meraba-raba pipi dan dagunya yang putih bersih itu. Laras hanya terdiam. Pelukanku semakin kuat pada tubuhnuya. Dadaku bergetar dengan sangat kencang. Nafasku sesak tersedak oleh aroma wangi tubuhnya. Bibir merah gincunya rasanya hangat sehangat bir.
“Bagaimana perasaanmu sekarang?”
“Pelukanmu seperti semilir angin, begitu menenangkan. Aku sangat tenang berada didekatmu.” Katanya lirih.
Malam semakin larut. Suara salakan anjing semakin meraung-raung. Teriakan burung siak terdengar serak. Malam ini, Laras bangkit dari pelukanku dan mengajakku ke sebuah jembatan yang tepatnya berada di samping halte kampus. Terdapat sebuah kali dengan bebatuan besar. Aliran air dari kali menambah keteduhan nuansa malam. Di atas semak-semak dan bebatuan, Laras berbaring. Bentuk tubuhnya yang semampai dengan pesona wajahnya yang elok semakin terlihat jelas. Malam semakin sunyi dan sepi. Tak ada cahaya bintang gemintang, pun semerbak kelopak bulan yang mekar.
Aroma wangi tubuh Laras membuatku menggila, hidungku sesak dan dadaku perlahan bergetar kencang. Ada gairah hasrat yang memuncak ditubuhku. Pikiranku terasa terbang melayang-layang. Laras mengerang kencang dan sesekali ia menjerit. Ah! Aku mabuk dibuatnya.
Gerimis menjelma menjadi hujan. Pukulannya berdenting nyaring keras seperti lolongan suara anjing yang meramaikan suasana batin. Malam ini, tubuhku terbenam ditubuhnya laras. Hamparan langit seakan menjerit lalu menganga ketika menyaksikan aku dan Laras tergelatak lemas dan berpeluh hangat. Empat pasang mata saling bertatap di bawah kaki hujan. Jentik air hujan begitu romantis dan sepertinya mengekalkan batin yang terluka. Dua tubuh jatuh terhempas ke atas tanah yang basah. Layaknya ranting yang kering dan daun berguguran, tubuhku tergelatak mengerikan. Aku tak sadarkan diri.
Langit mulai teranng, tampaknya matahari mulai mnyinari bumi. Kemudian mataku yang rapat kubuka pelan-pelan. Aku kaget bukan main. Tak kudapatkan sesosok tubuh Laras di sampingku di pagi ini. Sementara, air di kali masih mengalir tenang. Bebatuan tak terjajar rapi.
“Laras…? Laras…?”Aku berteriak memanggil namanya.
Aku tidak menemukan sosok perempuan yang bernama Laras. Aku hanya menemukan cairan darah di atas batu dan tanah. Tak hanya darah, kutemukan juga setangkai kembang melati putih yang masih segar dan mekar. Aku genggam dan kucium kembang melati itu. Batinku nyeri sekali.
Semakin siang semakin usang. Tak ada lagi bekas hujan yang semalam berderai, dan aku masih juga tak menemukan Laras. Namun, siang itu aku hanya menemukan kerumunan orang-orang yang sedang menangis pilu. Bau kembang melati yang kini kugenggam menyesakkan dadaku wanginnya seperti aroma tubuh Laras semalam. Batinku jatuh berdarah-darah, nyeri sekali, ketika orang-orang mengingatkan bahwa hari ini adalah hari ke tujuh dimana kematian sosok perempuan berparas elok, Laras.***
Baca juga di:https://www.wattpad.com/story/196997361-misteri-kembang-melati
Belum ada Komentar untuk "CERPEN "MISTERI KEMBANG MELATI""
Posting Komentar