-->

CERPEN "LELAKON DI JUMAT KLIWON"

CERPEN "LELAKON DI JUMAT KLIWON"-Siang berderang, mentari membakar dedaunan dan ranting-ranting yang telah meranggas kering. Rupanya tidak pada daun dan ranting saja, sang mentari yang menyinari seluruh bumi tampak menampar keras pundak dan jiwaku yang hampir saja lemah melepuh rapuh. Aku rebahkan pelan tubuh ini di atas dipan samping rumah. Sambil memandangi mata air dan menikmati semilir angin yang mempermainkan daun-daun kirai yang rindang, lama kelamaan aku tak sadarkan diri dan tidur lelap sampai menjelang petang tiba.

Terbangun oleh suara pukulan golok yang dihentakkan pada sebilah bambu oleh kakek, aku pun terbangun dan terkesiap. Tampak ibu sedang merapikan batu tungku dan menyimpan rapi kayu-kayu bakar. Di atas sana, langit mengubah warna menjadi jingga kemerah-merahan. Berbondong-bondong pasukan kelelawar pun terbang di udara.


Garis-garis tipis merah jingga di atas horizon membentang mamanjang lurus. Sesaat lagi langit akan menebarkan pesona keremangan kepada semesta yang menghitam. Aromatik sunyi mulai menyusup ke setiap rongga jiwa yang semakin jemu. Ya, rupanya malam nanti adalah malam Jum.at Kliwon. Di luar sana, kakek bersikeras merapihkan potongan-potongan bambunya. Setelah itu, ia menyibukkan dirinya dengan menyajikan tampah yang terbuat dari anyaman bambu berbalut daun pisang. Isinya banyak dan bermacam-macam, dari mulai tumpeng, daging dendeng, beberapa mata uang, padi, kendi berisi air kembang, kelapa, gula merah, kemenyan, sampai dedaunan seperti daun sirih, kelewuh, dan dadap serep pun siap saji di dalam tampah itu. Orang-orang menyebutnya dengan sesajen. Ketika menjelang malam jumat kliwon, sesajen tersebut selalu disajikan bersama-sama dan disimpan di kaki gunung tengah hutan.
“Sudah hampir Maghrib, ayo lekas ke dalam. Tutup semua pintu, jendela, dan semua lampu-lampu harus menyala!” Kata Kakek.
Aku patuhi perintah kakek, dan aku suruh kedua adikku yang masih tengah bermain puas untuk lekas masuk rumah. Pintu dan jendela aku tutup rapat, sedang lampu-lampu aku nyalakan. Aku kadang selalu bertanya-tanya dan masih penasaran dengan apa yang dilakukan oleh ibu dan kakek ketika menjelang malam Jumat Kliwon begitu juga dengan warga sekampung. Mereka selalu menyajikan sesajen yang katanya hal itu memiliki nilai sakral dan merupakan suatu kebudayaan yang ditinggalkan oleh para leluhur sebagai persembahan bagi makhluk agung yang telah menjaga keselamatan warga dan kampung. Namun, yang semakin menambah naik darah keanehanku yaitu pada tindakan kakek dan ibu yang selalu menegurku dan juga adik-adikku untuk tidak berada di luar rumah pada waktu menjelang tenggelammnya matahari di Jumat Kliwon. Jendela dan pintu harus tertutup rapat, apalagi lampu harus tetap menyala. ***

Akhir-akhir malam ini, aku tidak dapat memejamkan mata, pikiranku masih terfokus pada hal-hal yang selalu dilakukan para warga kampung termasuk kakek dan ibu ketika menjelang malam Jumat Kliwon. Sebagian orang ada yang mengatakan, malam Jumat Kliwon adalah malam dimana para leluhur datang menjenguk kita, ada lagi yang berpendapat, malam Jumat Kliwon itu malam yang menyeramkan, semua arwah berdatangan. Ah, entahlah, namun setahuku nama Kliwon dalam pasaran kalender Jawa adalah hari yang ke lima. Tapi, kepanikan kakek dan ibu menjelang malam Jumat Kliwon membuatku semakin bertanya-tanya.

Masih di tengah malam yang sepi, aku tetap tidak bisa merapatkan kedua bola mata, pikiran diliputi dengan sejumlah banyangan kepanikan kakek dan ibu tadi petang. Malam itu, rasa cemas dan penasaranku semakin memuncak. Tanpa sepengetahuan kakek, ibu, dan kedua adikku, aku coba mematikan lampu luar. Aku intip rembulan dan bintang yang sedang saling bercumbu lewat celah dinding bilik rumah yang agak longgar. Kutengok kanan kiri sekitar rumah. Tampak di luar sana gelap. Lengang, tak ada satu orang pun yang berlalu lalang, sepi seperti kampung yang telah mati. Malam itu, bersama awan gemawan, lama kelamaan bintang gemintang dan sang putri malam meredupkan cahayanya. Tak ada suara dari bisikan daun kirai yang saling mengusik. Mata air mengalir tenang diufuk malam yang kelam. Luar rumah tampak sunyi sekali. Angin malam menembus ke dalam dindiing bilik. Kubuka pelan-pelan jendela, rasanya berat, tubuh gemetar, dan hati mulai berdebar kencang. Sedang, kain penutup jendela melayang-layang diterbangkan angin malam. Lalu mataku membelalak, kuintip kanan-kiri, rupanya ada kerlap kerlip kunang-kunang beterbangan di sekitar pohon kirai, namun anehnya lama kelamaan mataku mulai menemukan kilauan cahaya yang lebih terang, menerangi pohon kirai yang rindang dan besar. 

Aneh yang dirasa, seperti dalam mimpi, sinar cahaya itu menyilaukan mata sehingga aku tak dapat melihat dengan jelas. Namun, dengan rasa penasaran yang kuat, aku terpaksa langkahkan kedua kakiku ke luar, dari dekat jelas terlihat. Cahaya-cahaya itu rupanya berasal dari kedua mata seekor kelinci putih yang bermata emas. Malam itu, aku kaget bukan main, seekor kelinci mungil itu tiba-tiba ada dihadapanku. Aku mulai merasa pusing dan lemas, keringat dingin mengalir, jatuh membasuh tubuh. Bibirku kaku tak dapat mengucapkan kata-kata, sedang mata air yang mengalir di sekitar pohon kirai membuat tubuhku menjadi beku kaku. Walau malam itu terasa menyiksa diri, aku tetap mencoba menangkap kelinci itu, namun sayanh, tak jelas keberadaannya. Sinar cahaya yang terpancar dari kedua bola matanya tampak silau berkilau, mengaburkan pikiran dan penglihatanku, angin bergegas menyelimuti alam, dingin menyatu di seluruh tubuh.  ***

“Sudah kakek bilang, kamu jangan keluar tengah malam di Jumat Kliwon, Wan!” Suara kakek terdengar jelas ditelinga. Tangannnya mengelus-elus keningku. Rupanya, hari sudah menjelang pagi, tubuhku lemas dan sedikit ngilu, dengan wajah pucat penuh lebam aku berbaring lemah di ranjang, sedang di sekelilingku tampak orang-orang berkerumun sambil memanjatkan ayat-aya doa.

Aku dengar suara tangisan ibu. Masih tidak mengerti. “Ada apa ini? Lalu apa yang terjadi tadi malam?” Hatiku mulai bertanya-tanya. Menjelang beberapa menit kemudian, aku mulai sadar, pada saat kejadian tadi malam aku menemukan sosok seekor kelinci putih bermata emas yang memancarkan cahaya. Konon, kata kakek kelinci itu selalu muncul disetiap rumah-rumah para warga kampung ketika menjelang malam Jumat Kliwon. Menjaga malam senyap. Kelinci bermata emas itu sebenarnya tinggal di kaki gunung tengah hutan. Ada raja kelinci di sana. Kata kakek dan orang-orang lainnya, raja kelinci itu sangat besar dan kuat, warnanya putih dan  kedua bola matanya berwarna emas,  Katanya, setiap orang yang melihatnya selalu dibutakan oleh cahaya-cahaya yang terpancar dari kedua mata emasnya itu. Orang tersebut pada akhirnya mengalami kebutaan total yang luar biasa. Aneh luar biasa, namun menurut kepercayaan masyarakat umum, kelinci itu membawa berkah bagi kesuburan tanah dan kemakmuran kampung. Hingga kini, tak ada satupun yang berani memburu kelinci itu, dan tak ada satu pun orang yang berani ke luar rumah untuk melihatnya. 

Menjelang siang dimata yang remang, seluruh tubuhku lemas, penglihatanku kabur, bukan gelap yang dapat aku lihat, tapi masih kilau-kemilau cahaya yang terang. Walau begitu, aku masih beruntung dapat melihat sedikit bayang-bayang tubuh ibu, kakek, adik-adkku, dan orang-orang yang ada disekelilingku. Aku pegang dan kepang jari jemari tangan ibu kuat, ia menangis tersedu-sedu. Lalu ia berucap pelan sambil memelukku hangat, “Anakku selamat, anakku telah selamat, dan anakku adalah lelakon, ya lelakon di malam Jumat Kliwon!!” Begitu juga dengan kakek, adikku, dan orang-orang lainnya pun berkata demikian. Siang mengusang, di atas hamparan kanvas langit, bersama gumpalan awan gemawan kulukiskan secercah kerinduan dan kenangan. ***




Baca juga di: https://www.wattpad.com/story/196998553-lelakon-di-jumat-kliwon

2 Komentar untuk "CERPEN "LELAKON DI JUMAT KLIWON""

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel